Sabtu, 07 Maret 2015

Sastra dan Agama



Penulis memulai esai ini dengan pembahasan mengenai sastra. Penulis merasa penting membahas sastra lebih dahulu karena dari sastralah penulis akan mencari hubungan antara sastra dan agama. Selain itu, pembahasan agama yang juga membahas sastra belum banyak penulis temukan, tetapi banyak pembahasan sastra yang tidak lepas dari pembahasan mengenai agama. Dengan cara seperti ini, penulis berharap mendapatkan hasil yang maksimal dan bisa memberikan gambaran mengenai hubungan sastra dan agama. Istilah sastra berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti ‘tulisan’ atau ‘karangan’. Sastra biasanya diartikan sebagai karangan dengan bahasa yang indah dan isi yang baik. Bahasa yang indah artinya bisa menimbulkan kesan dan menghibur pembacanya. Isi yang baik artinya berguna dan mengandung nilai pendidikan. Indah dan baik ini menjadi fungsi sastra yang terkenal dengan istilah dulce et utile. Bentuk fisik dari sastra disebut karya sastra. Penulis karya sastra disebut sastrawan (Bagyo S. (ed), 1986: 7).

Sastra memiliki beberapa ciri, yaitu kreasi, otonom, koheren, sintesis, dan mengungkapkan hal yang tidak terungkapkan. Sebagai kreasi, sastra tidak ada dengan sendirinya. Sastrawan menciptakan dunia baru, meneruskan penciptaan itu, dan menyempurnakannya. Sastra bersifat otonom karena tidak mengacu pada sesuatu yang lain. Sastra dipahami dari sastra itu sendiri. Sastra bersifat koheren dalam arti mengandung keselarasan yang mendalam antara bentuk dan isi. Sastra juga menyuguhkan sintesis dari hal-hal yang bertentangan di dalamnya. Lewat media bahasanya sastra mengungkapkan hal yang tidak terungkapkan (Luxemburg dkk. terj. Hartoko, 1989: 5-6).
Berbicara mengenai sastra tentu tidak bisa lepas dari pembicaraan mengenai ilmu sastra. Ilmu sastra saat ini sudah menjadi disiplin ilmu tersendiri dan mapan. Menurut Wellek dan Warren, ilmu sastra terbagi menjadi tiga bagian, yaitu teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra. Teori sastra bergerak di bidang teori, misalnya mengenai pengertian sastra, hakikat sastra, gaya sastra, dan lain-lain. Sejarah sastra bergerak di bidang sejarah perkembangan sastra. Kritik sastra bergerak di bidang penilaian baik-buruknya karya sastra (Pradopo, 1997: 9). Dalam esai ini, penulis lebih banyak berbicara dari perspektif cabang kritik sastra karena cabang itulah yang banyak memberikan gambaran hubungan sastra dan agama.
Bagaimana hubungan sastra dan agama? Dunia sastra Indonesia tidak akan lupa dengan Nota Rinkes yang menyatakan bahwa karya sastra tidak boleh berpolitik, tidak menyinggung agama (netral terhadap agama), dan tidak menyinggung kesusilaan masyarakat (Teeuw, 1955: 60). Akan tetapi, menurut hemat penulis, agama yang dimaksud adalah agama formal yang menunjuk pada satu agama tertentu bukan semangat dasar dari agama. Pendapat berikut ini justru menunjukkan hubungan sastra dan agama:
Seni dan sastra mengungkapkan masalah dan pengalaman manusia, suka dan dukanya. Khusus pengalaman manusia mengenai adanya Tuhan serta peran Tuhan dalam hidupnya diungkapkan dalam seni dan sastra. Oleh karena itu, seni dan sastra harus diberi tempat yang wajar dan terhormat dalam kehidupan kelompok beragama (Gaudium et Spes, No. 62 dalam Veeger dkk., 2001: 14).
Pernyataan di atas menegaskan sastra sebagai salah satu media pengungkapan pengalaman manusia mengenai adanya Tuhan dan peran Tuhan dalam kehidupan tanpa menunjuk agama tertentu. Penulis mencoba memakai pendekatan-pendekatan sastra yang mungkin bisa digunakan dalam pengungkapan pengalaman tersebut.
Berdasarkan pendapat Abrams, setidaknya ada empat pendekatan terhadap karya sastra, yaitu ekspresif, pragmatik, mimetik, dan objektif. Keempat pendekatan ini dibedakan dari peran yang ditonjolkan. Pendekatan ekspresif menonjolkan peran penulis sebagai pencipta karya sastra. Pendekatan pragmatik menonjolkan pembaca sebagai penghayat karya sastra. Pendekatan mimetik menonjolkan karya sastra sebagai tiruan alam. Pendekatan objektif menonjolkan peran karya sastra sebagai sesuatu yang berdiri sendiri (Teeuw, 1991: 59-60). Sebagai langkah awal, penulis menjadikan keempat pendekatan sastra dari Abrams ini sebagai landasan dalam membahas hubungan sastra dan agama.
Dalam pendekatan ekspresif, karya sastra dipandang sebagai ekspresi sastrawan. Kriteria yang dikenakan adalah ketepatan karya sastra dalam mengekspresikan kejiwaan sastrawan. Ketika menulis karya sastra, sastrawan tidak bisa lepas dari sejarah sastra dan latar belakang budayanya (Pradopo, 1995: 108). Karya sastra tidak lahir dalam kekosongan budaya (Teeuw, 1980: 11, 12).
Karya sastra menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan diri sendiri, lingkungan, dan juga Tuhan. Karya sastra berisi penghayatan sastrawan terhadap lingkungannya. Karya sastra bukan hasil kerja lamunan belaka, melainkan juga penghayatan sastrawan terhadap kehidupan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab sebagai sebuah karya seni (Nurgiyantoro, 1998: 3).
Ada yang berpendapat bahwa dalam berekspresi sastrawan bebas memperlakukan tokoh-tokoh dalam karya sastra. Akan tetapi, sastrawan dituntut membuat alur cerita yang logis bagi tokoh-tokohnya. Tokoh-tokoh yang dari awal dicitrakan dengan sifat tertentu, tidak logis bila memerankan cerita yang di luar kemampuannya. Tidak logis tokoh yang sejak awal dicitrakan berprilaku buruk kemudian menjadi baik tanpa sebab. Tokoh-tokoh ciptaan itu harus dihormati kedaulatannya agar mereka berbicara sendiri, bukan karena kekuasaan sastrawan. Keyakinan agama, pandangan hidup, bahkan ideologi politik seorang sastrawan juga berpengaruh pada karyanya, tetapi kelogisan alur cerita harus dipertahankan oleh sastrawan (Lubis, 1997: 4, 5, 7).
Dalam memilih tema cerita, sastrawan harus punya kepekaan terhadap keadaan masyarakat dan zamannya. Sastrawan harus bisa menangkap berbagai persoalan yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Sangat disayangkan bila karya sastra hanya menggambarkan hal-hal yang indah dan baik, padahal masyarakat sekitarnya dalam kesulitan dan kesusahan. Banyak novel pop dan film Indonesia yang menggambarkan kehidupan mewah, padahal kebanyakan masyarakat Indonesia dalam kenyataan hidup yang getir (Lubis, 1997: 8).
Karya sastra memiliki peran yang penting dalam masyarakat karena karya sastra merupakan ekspresi sastrawan berdasarkan pengamatannya terhadap kondisi masyarakat sehingga karya sastra itu menggugah perasaan orang untuk berpikir tentang kehidupan. Membaca karya sastra merupakan masukan bagi seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Para penguasa sering melarang peredaran karya-karya sastra yang dianggap membahayakan pemerintahannya. Buku-buku dimusnahkan dan sastrawan-sastrawan diasingkan. Pramoedya Ananta Toer pernah diasingkan ke Pulau Buru. Karya Mochtar Lubis berjudul Senja di Jakarta juga pernah dilarang beredar oleh Sukarno. Kekerasan ini terjadi karena sastrawan lewat karyanya berusaha melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan penguasa (Lubis, 1997: 18, 25, 32-33).
Perlawanan yang dilakukan oleh para sastrawan tidak hanya terhadap ketidakadilan penguasa, tetapi juga terhadap aturan adat yang biasa berlaku di masyarakat. Pertanyaan ini biasanya hampir selalu bermuara pada pertanyaan mengenai peraturan agama formal. Dengan karya sastranya, para sastrawan sering mempertanyakan, bahkan meragukan efisiensi atau makna agama sebagai institusi yang menampakkan diri reaksioner dan hanya berbicara tentang akhirat. Sebagai contoh roman Tenggelamnya Kapal van Der Wijk karya Hamka. Zainudin, tokoh dalam roman tersebut yang keturunan orang Minang tetapi dibesarkan di keluarga Bugis, ditolak permintaannya untuk menikah dengan Hayati karena Zainudin miskin dan dianggap tidak kufu’ (setara) dengan Hayati (Mangunwijaya, 1994: 42, 49). Di sini, konsep agama (Islam) dijadikan alasan.
Permasalahan perkawinan berdasar adat dan agama juga disinggung dalam roman Siti Nurbaya. Yang dipertanyakan adalah longgarnya aturan poligami di kalangan masyarakat Minangkabau dengan dalih bahwa agama (Islam) mengizinkan. Kaum lelaki bisa dengan mudahnya menambah istri bila ada yang melamar (dalam adat Minangkabau, perempuan “membeli” laki-laki untuk menjadi suaminya). Suami-istri diikat dengan hubungan uang bukan kasih sayang sehingga mudah sekali bercerai. Banyak sekali keburukan dari poligami dan keburukan itu lebih banyak menimpa para istri (Pradopo, 1995: 189-191).
Hal yang berbeda disampaikan oleh Umar Yunus dalam menanggapi hubungan cerpen “Datangnya dan Perginya” dengan novel Kemarau karya A.A. Navis. Keduanya mengisahkan seorang ayah bernama Sutan Duano yang sangat sedih karena kematian istrinya. Sutan Duano sudah memiliki seorang anak laki-laki bernama Masri. Setelah itu dia beberapa kali menikah dan juga bercerai. Di antara istri-istri yang dinikahi dan diceraikan ada yang melahirkan anak perempuan dan diberi nama Arni. Berpuluh tahun kemudian, Arni, yang tidak diketahui asal-usulnya baik oleh Sutan Duano maupun Masri, menikah dengan Masri dan mempunyai dua orang anak. Ketika Arni sedang mengandung anaknya yang ketiga, Sutan Duano mengetahui bahwa Arni adalah anak dari salah satu istrinya. Dia berada dalam dilema, apakah membiarkan sebuah dosa menurut agama (pernikahan Masri dengan Arni yang sebenarnya kakak beradik) demi keutuhan keluarga Masri atau mencegahnya dengan resiko keluarga Masri hancur berantakan. Pada “Datangnya dan Perginya”, sang Ayah memilih alternatif pertama, tetapi pada Kemarau, sang ayah memilih alternatif kedua (Mangunwijaya, 1994: 13-14).
Dalam novel Keluarga Permana terjadi perselisihan antara dua keyakinan, yaitu Islam dan Katolik. Farida, putri Permana, berkenalan dan berpacaran dengan Sumarto walaupun mereka berbeda agama. Farida beragama Islam, sedangkan Sumarto beragama Katolik. Permana menolak Sumarto menjadi menantunya, padahal Farida sedang mengandung bayi, buah cintanya dengan Sumarto. Atas perintah Permana, bayi itu digugurkan. Akan tetapi, cinta Farida sudah terlanjur hanya kepada Sumarto, maka dengan berat hati Permana mengizinkan pernikahan mereka berdua. Demi cinta, Farida pindah agama mengikuti Sumarto. Beberapa minggu setelah menikah, Farida jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit. Ketika sakitnya semakin keras dan hampir meninggal, seorang perawat membimbingnya dengan tata cara Islam (Nurgiyantoro, 1998: 330). Begitulah para sastrawan mempertanyakan adat dan agama lewat karyanya.
Sastrawan menulis karya sastra, antara lain, untuk menyampaikan model kehidupan yang diidealkan dan ditampilkan dalam cerita lewat para tokoh. Dengan karya sastranya, sastrawan menawarkan pesan moral yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia. Sifat-sifat itu pada hakikatnya universal, artinya diyakini oleh semua manusia. Pembaca diharapkan dalam menghayati sifat-sifat ini dan kemudian menerapkannya dalam kehidupan nyata (Nurgiyantoro, 1998: 321).
Moral dalam karya sastra atau hikmah yang akan disampaikan oleh sastrawan selalu dalam pengertian yang baik karena pada awal mula semua karya sastra adalah baik (Mangunwijaya, 1994: 16). Jika dalam cerita ditampilkan sikap dan tingkah laku tokoh-tokoh yang tidak terpuji, baik mereka berlaku sebagai tokoh antagonis maupun protagonis, bukan berarti sastrawan menyarankan bertingkah laku demikian. Pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah sendiri dari cerita. Sesuatu yang baik justru akan lebih mencolok bila dikonfrontasikan dengan yang tidak baik (Nurgiyantoro, 1998: 322).
Pesan moral merupakan bentuk keagamaan yang paling tampak dalam karya sastra. Dalam konteks karya sastra pesan moral itu merupakan isi. Pesan moral itu merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh sastrawan kepada pembaca lewat karya sastra yang ditulisnya. Pesan moral itu menjadikan saran yang ditujukan langsung kepada pembaca. Sebagaimana tema, pesan moral itu hanya dapat ditangkap melalui penafsiran cerita. Ia merupakan “petunjuk” praktis mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. Sastrawan menyampaikan pesan itu lewat penampilan tokoh-tokoh cerita (Kenny dalam Nurgiyantoro, 1998: 320-321).
Contoh pesan moral yang disampaikan dalam karya sastra adalah keseimbangan pergaulan suami-istri seperti dalam roman Siti Nurbaya karya Marah Rusli. Tuntutan keseimbangan karena banyaknya ketidakadilan yang menimpa para istri. Para suami memperlakukan istrinya seperti budak sehingga mereka bebas memukul dan menyakiti, sedangkan istri tidak bisa membalas. Para suami boleh pergi ke mana saja, sedangkan para istri harus selalu di rumah. Seharusnya, rumah tangga dikelola oleh suami dan istri bersama-sama dengan pembagian kerja yang adil, diistilahkan dengan “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Keduanya tidak boleh melalaikan kewajiban keluarga. Suami dan istri adalah teman sehingga harus berusaha menyenangkan dan jangan sampai menyakiti hati temannya. Keseimbangan pergaulan inilah yang sebenarnya menjadi ajaran agama (Pradopo, 1995: 192-194).
Model kehidupan ideal yang ditawarkan sastrawan bukan hanya lewat pesan moral yang biasanya menunjuk pada kehidupan pribadi. Sastrawan juga menawarkan bentuk kehidupan ideal dalam kehidupan sosial karena sesungguhnya karya sastra merupakan “struktur yang berarti”. Karena mempunyai struktur, karya sastra harus koheren. Karena mempunyai arti, karya sastra terkait dengan usaha manusia memecahkan persoalan-persoalannya dalam kehidupan sosial yang nyata (Goldmann dalam Faruk, 1999: 19).
Pemecahan persoalan sosial lewat karya sastra terkait dengan konvensi-konvensi kesusastraan. Konvensi-konvensi itu selalu ada dalam aktivitas kesusastraan karena konvensi-konvensi itu menentukan sejauh mana suatu objek dapat dianggap sebagai karya sastra pada umumnya atau sebagai karya yang baik atau yang buruk pada khususnya. Sastrawan tidak dilarang untuk melakukan “pendobrakan” terhadap konvensi-konvensi sastra karena masyarakat sastralah yang nanti akan menilai apakah “pendobrakan” itu masih dalam batasan keindahan karya sastra atau tidak. Sastrawan juga perlu memperhatikan konvensi-konvensi sastra yang berlaku sebelumnya karena “pendobrakan” terhadap konvensi sastra akan terlihat maknanya jika dipertentangkan dengan konvensi sebelumnya (Teeuw, 1991: 29).
Ada hubungan yang menarik ketika konvensi sastra itu dikaitkan dengan struktur sosial. Menurut Faruk (1999: 44-47) kemungkinan hubungan tersebut ada empat, yaitu hubungan kelembagaan, hubungan permodelan, hubungan interpretatif, dan hubungan pembatasan. Hubungan yang pertama adalah hubungan kelembagaan yang menganggap konvensi-konvensi tersebut sebagai sebuah lembaga sosial yang diterima dan dipertahankan oleh masyarakat. Perubahan pada konvensi-konvensi tersebut akan berakibat perubahan pada struktur sosial dan perubahan pada struktur sosial akan berakibat perubahan pada konvensi-konvensi kesusastraan. Hal ini misalnya pada permulaan tahun 1900-an ketika terjadi penolakan terhadap segala bentuk karya sastra lama yang dianggap telah usang. Penolakan ini misalnya pada puisi seperti yang dinyatakan oleh Rustam Efendi dalam puisi yang berjudul “Bukan Beta Bijak Berperi”. Rustam Efendi adalah sastrawan angkatan Balai Pustaka. Dalam puisi tersebut, periodus (bagian yang sama dalam puisi dan biasa dipakai dalam puisi lama) dipakai secara teratur, tetapi Rusatam Efendi tidak memakai sampiran Akan tetapi, dalam puisi karya Chairil Anwar yang berjudul “Hampa” periodus sudah tidak banyak dipakai. Bahkan, dalam puisinya yang berjudul “1943” periodus tidak begitu terlihat karena menggunakan kalimat-kalimat pendek. Pada puisi-puisi sekarang, sedikit sekali ada periodus (Pradopo, 1987: 8-11).
Hubungan yang kedua adalah hubungan permodelan. Menurut Lotman, sastra merupakan suatu wacana yang memodelkan semesta yang tidak terbatas dalam satu semesta imajiner yang terbatas. Dengan demikian, menurut Culler, karya sastra berfungsi sebagai model yang dengannya masyarakat memahami dirinya sendiri. Dalam hal ini, pembacaan dan penciptaan karya sastra berpegang pada konvensi bahwa karya sastra adalah gambaran dari kehidupan nyata, sehingga perilaku menyimpang dalam karya sastra akan menimbulkan reaksi. Sebagai contoh adalah pengadilan terhadap Flaubert pada tahun 1857 di Perancis. Flaubert dikecam karena karyanya berjudul Madame Bovary yang mengisahkan tokoh pelaku zina bernama Emma. Perbuatan zina, bagaimanapun, adalah dosa menurut agama dan pelakunya harus dihukum. Akan tetapi, Emma tidak mendapatkan hukuman. Hal ini dianggap oleh kaum Borjuis mengancam tata susila. Di Indonesia, Ariel Heryanto mencatat peristiwa serupa yang dialami oleh sastrawan berinisial Ynt atau JLD. Pada bulan September 1982. Dia dihukum penjara oleh Pengadilan Negeri Ujung Pandang selama tiga tahun masa percobaan delapan bulan. Hukuman ini dijatuhkan pengadilan karena Ynt dianggap mencemarkan nama baik RIB, seorang gadis yang kebetulan juga tokoh utama dalam cerpen “Kenangan Manis di SMA” karya Ynt (Faruk, 1999: 47-48).
Hubungan ketiga adalah hubungan interpretatif. Hubungan ini terjadi ketika pandangan dunia atau struktur sosial diekspresikan dalam karya sastra menggunakan konvensi-konvensi sastra. Misalnya dalam roman Siti Nurbaya karya Marah Rusli. Dalam roman tersebut ada peristiwa politik, yaitu pemberontakan rakyat Padang terhadap Belanda karena kebijakan pajak. Samsul Bahri, sebagai tokoh utama, terlibat dalam pertempuran rakyat Padang dengan Belanda, tetapi dia berada di pihak Belanda. Samsul Bahri bertempur bukan karena tujuan politis atau jabatan militer, melainkan karena mencari kematian untuk menyusul kekasihnya, Siti Nurbaya. Keinginan Samsul Bahri ini bisa dipahami melalui interpretasi dari salah satu konvensi sastra, yaitu konvensi sastra romantis (Faruk, 1999: 48-49).
Hubungan keempat adalah hubungan pembatasan. Pada abad XVIII konsep kesusastraan di Inggris tidak hanya dibatasi pada tulisan-tulisan kreatif atau imajinatif. Bila tulisan yang dianggap memenuhi konvensi “sopan dan baik” oleh pembaca, itu sudah dianggap sastra. Pada abad XIX terjadi penyempitan arti kesusastraan yang hanya sebagai karya-karya kreatif dan imajinatif. Konvensi yang dipakai pada waktu itu adalah konvesi sastra romantik. Pada waktu itu terjadi revolusi berupa perubahan dari rezim kolonialis feodal ke rezim kelas menengah. Para sastrawan menciptakan karya sastra mengenai harapan karena perubahan rezim. Akan tetapi, setelah kelas menengah berkuasa, mereka melakukan pemerasan terhadap kelas pekerja sehingga para pekerja melakukan protes. Protes ini diredam dengan kekerasan oleh penguasa. Peristiwa ini juga ditanggapi oleh para sastrawan secara romantik dengan karya sastra mengenai harapan akan keadilan. Konvensi sastra romantik ini membatasi gerak imajinasi para sastrawan untuk menghasilkan karya sastra dengan warna yang berbeda (Eagleton dalam Faruk, 1999: 49-52).
Apabila dalam pendekatan ekspresif karya sastra dipandang sebagai ekspresi pengarang, dalam pendekatan pragmatik, karya sastra dipandang sebagai sarana mencapai tujuan pada pembaca. Kriteria yang dikenakan adalah tercapainya tujuan tersebut. Peran pembaca menjadi sangat besar karena dari waktu ke waktu, karya sastra selalu mendapat tanggapan dan penilaian. Karya itu memang tetap, tetapi tanggapan terhadapnya bisa berbeda-beda (Wellek dalam Pradopo, 1995: 8). Perbedaan tanggapan itu disebabkan oleh horison atau cakrawala harapan, yaitu konsep-konsep yang dimiliki oleh masing-masing pembaca karena pendidikan, pengalaman hidup, norma yang dianut, dan lain-lain. Horison itu ditentukan oleh tiga kriteria. Pertama, ditentukan oleh norma-norma yang terpancar pada teks-teks yang dibaca. Kedua, ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman atas karya sastra yang telah dibaca. Ketiga, ditentukan oleh kemampuan pembaca dalam memahami kehidupan (Segers dalam Pradopo, 1995: 9, 116). Pembaca perlu memberikan arti kepada karya sastra, sebab karya sastra itu hanya akan menjadi artefak bila tidak diberi arti oleh pembaca dengan cara konkretisasi (pemaknaan) (Teeuw, 1984: 191). Dengan pemaknaan makna yang tadinya tidak terlihat menjadi jelas. Selain konkretisasi, pembaca juga melakukan rekuperasi, yaitu “perebutan” makna oleh pembaca sehingga makna itu menjadi milik pembaca (Pradopo, 1995: 106). Peran pembaca dalam memahami karya sastra ini menjadi dasar teori resepsi sastra.
Di antara para pembaca karya sastra itu, banyak yang merupakan para peneliti sastra atau yang biasa disebut kritikus sastra. Tidak setiap pembaca karya sastra bisa menjadi kritikus karena banyaknya banyak ilmu yang harus dipelajari. Seorang kritikus perlu menguasai ilmu agama, filsafat, sejarah, dan ilmu pengetahuan lainnya sebagai sandaran dalam melakukan interpretasi tentang kehidupan sastrawan yang terpancar dalam karya-karyanya. Ilmu-ilmu itu diperlukan agar kritik yang dilakukannya kokoh dan kuat. Dalam melakukan kritik, kritikus bersikap seperti ahli-ahli ilmu pengetahuan lainnya yang objektif dalam melakukan penelitian. Dengan kata lain, kritikus itu tidak “pandang bulu” dalam melakukan sebuah kritik (Pradopo, 1997: 12).
Pendekatan ketiga, setelah pendekatan ekspresif dan pragmatik, adalah pendekatan mimetik yang memandang karya sastra sebagai tiruan alam atau kehidupan. Kriteria yang dikenakan adalah ketepatan karya sastra menggambarkan alam atau kehidupan. Pendekatan mimetik ini sangat dekat dengan hubungan permodelan seperti yang disampaikan Faruk. Perilaku menyimpang dalam karya sastra akan ditanggapi negatif. Belum lama ini, juga terjadi kecaman terhadap Muhyiddin M. Dahlan akibat novelnya yang berjudul Tuhan, Ijinkan Aku Jadi Pelacur. Novel tersebut dianggap melecehkan komunitas dakwah yang ada di kampus karena Nidah Kirani, tokoh dalam cerpen tersebut, digambarkan sebagai aktivis dakwah kampus yang kemudian berubah menjadi “pendosa” karena kecewa kepada Tuhan. Semua ini terjadi karena para pembaca menganggap bahwa karya sastra adalah tiruan kehidupan nyata.
Pendekatan terakhir adalah pendekatan objektif yang memandang karya sastra sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Kriteria yang dikenakan adalah kemampuan karya sastra itu untuk berdiri sendiri. Ada tiga paham tentang penilaian terhadap karya sastra secara objektif, yaitu paham relativisme, absolutisme, dan perspektivisme. Penilaian relativisme menyatakan bahwa bila sebuah karya sastra dianggap bernilai pada suatu waktu dan tempat tertentu, pada waktu dan tempat yang lain juga harus dianggap bernilai. Penilaian absolutisme menyatakan bahwa penilaian karya sastra harus didasarkan pada ukuran dogmatis, misalnya, agama seperti yang dikemukakan oleh Tolstoy:
“Agama adalah eksponen (yang memegang peranan) pengertian kehidupan tertinggi yang mungkin diterima oleh sebagian besar masyarakat pada waktu dan tempat tertentu. Agama merupakan suatu pengertian terhadap hal-hal yang harus tak dielakkan dan kemajuan yang tidak dapat ditolak oleh semua anggota masyarakat. Karena itu, agama selalu berlaku dan tetap berlaku sebagai dasar penilaian perasaan manusia. Bila perasaan itu mendekatkan orang-orang kepada ideal yang ditunjukkan oleh agama mereka dan mereka selaras dengannya, maka perasaan itu baik. Bila perasaan itu menjauhkan orang-orang dari ideal yang ditunjukkan oleh agama mereka dan mereka berlawanan dengannya, maka perasaan itu buruk.”
Penilaian perspektivisme menyatakan bahwa penilaian karya sastra harus dilakukan dari berbagai sudut pandang sejak karya sastra itu tercipta (terbit) sampai sekarang (Pradopo, 1997: 49-51).
Menurut T. S. Eliot, mengukur kesastraan sebuah karya sastra adalah dengan kriteria estetik, sedangkan mengukur kebesaran karya sastra adalah dengan kriteria di luar estetik (Lubis, 1997: 15). Salah satu kriteria estetik yang bisa dipakai adalah kriteria norma sastra. Rene Wellek menyatakan bahwa karya sastra mengandung norma-norma karya sastra, yaitu tata nilai impilisit yang harus ditarik dari karya sastra dan menunjukkan karya sastra sebagai keseluruhan. Norma karya sastra itu terdiri dari beberapa lapis seperti yang dikemukakan oleh Rene Wellek tentang analisis Roman Ingarden dengan metode phenomenologi Edmund Husserl. Lapis-lapis itu adalah, lapis suara (berupa kata), lapis arti (berupa kalimat), dan lapis obyek (berupa dunia sastrawan). Roman Ingarden menambahkan dua lapis lagi, yaitu lapis dunia (berupa sudut pandang sastrawan) dan lapis metafisika (berupa renungan terhadap yang kudus) (Pradopo, 1997: 54-55).
Lapis metafisika yang menjadi puncak lapis-lapis norma dalam paparan Rene Wellek di atas merupakan satu tujuan puncak dalam sastra. Lapis-lapis norma ini mirip dengan konsep keutuhan jiwa dari J. Elema yang menyatakan bahwa karya sastra itu tidak bernilai tinggi bila tidak meliputi keutuhan jiwa. Dalam kaitannya dengan karya sastra, keutuhan jiwa ini diterangkan oleh Subagio Sastrowardojo sebagai lima tingkatan jiwa manusia, yaitu niveau anorganis, niveau vegetatif, niveau animal, niveau human, dan niveau religius. Pada tingkatan niveau anorganis, karya sastra itu berupa bentuk formal seperti pola bunyi, kalimat, gaya bahasa, dan lain-lain. Pada tingkatan niveau vegetatif, karya itu menghadirkan suasana kejiwaan, seperti romantis, mengerikan, marah, dan sebagainya. Pada tingkatan niveau animal, karya sastra menghadirkan hasrat-hasrat kebinatangan, seperti makan, minum, membunuh, dan lain-lain. Pada tingkatan niveau human, karya sastra menghasilkan renungan-renungan batin, rasa belas kasihan, rasa simpati, dan pengalaman-pengalaman lain yang hanya bisa dirasakan oleh manusia. Pada tingkatan niveau religius, karya sastra menghadirkan renungan-renungan mengenai Tuhan, pengalaman mistik, dan renungan-renungan lain yang sampai pada hakikat (Pradopo, 1997: 57-58). Dari sini menjadi jelas bahwa Tuhan, dengan kata lain yang kudus, merupakan puncak kegiatan bersastra yang dilakukan oleh para sastrawan.
Mengukur kebesaran sastra dengan kriteria di luar estetik seperti yang pendapat T. S. Eliot di atas bisa diwujudkan dengan menggunakan kriteria agama, walaupun sejauh ini sulit sekali menemukan definisi final dari agama. Sebagaimana yang sudah biasa disampaikan bahwa dalam bahasa Sansekerta, kata agama terdiri dari dua kata, yaitu a yang berarti ‘tidak’ dan gama yang berarti ‘kacau’. Dengan demikian, agama berarti ‘tidak kacau’. Menurut Badudu (1996: 11), agama diartikan sebagai kepercayaan kepada Tuhan atau dewa serta dengan ajaran dan kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu. Arti agama yang lain seperti yang disampaikan oleh Huijbers (1992: 9), yaitu cara tertentu untuk menghayati kepercayaan pada Allah.
Agama dalam arti luas dapat didefinisikan sebagai penerimaan atas tata aturan dari kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi daripada manusia itu sendiri. Bentuk-bentuk yang khas dari kepercayaan dan aktivitas manusia yang merupakan aktivitas agama adalah kebaktian, pemisahan antara yang sakral dan yang profan, kepercayaan kepada jiwa, kepercayaan kepada dewa-dewa atau tuhan, penerimaan wahyu yang supranatural, dan pencarian keselamatan (Bozman dalam Anshari, 1987: 119).
Seperti yang telah disampaikan, sangat sulit menemukan definisi final agama. Akan tetapi, dari definisi-definisi yang banyak ditulis oleh para ahli, ada dua pendekatan yang mungkin tepat bila dikatakan sebagai sudut pandang mereka. Dua pendekatan itu adalah pendekatan “apa” dan pendekatan “mengapa”. Pendekatan “apa” menimbulkan pertanyaan “Apa yang dilakukan orang ketika dia beragama?”. Pendekatan “mengapa” menimbulkan pertanyaan “Mengapa orang melakukan ajaran agama?” (Braden, 1954: 16).
Di dalam agama, secara umum manusia mengakui adanya yang suci. Manusia insaf bahwa ada suatu kekuasaan yang memungkinkan dan melebihi segala yang ada. Kekuasaan inilah yang dianggap sebagai asal atau khalik segala yang ada. Tentang kekuasaan ini, bermacam-macam bayangan yang terdapat manusia, demikian juga cara membayangkannya. Demikianlah Tuhan dianggap oleh manusia sebagai tenaga gaib di seluruh dunia dan dalam unsur-unsur-Nya atau sebagai khalik rohani. Tenaga gaib ini menjelma antara lain dalam alam (animisme), dalam buku suci (Torat), atau dalam manusia (Kristus) (Mulia dan Hiddung dalam Anshari, 1987: 124)
Yang mutlak dalam agama adalah unsur ilahi dan unsur ilahi itu adalah wahyu. Dalam agama, orang menjawab dengan iman. Umat beragama dengan sendirinya mengungkapkan iman mereka pada wahyu melalui wujud-wujud yang bermakna bagi mereka dan wujud-wujud itu ditentukan oleh kebudayaan. Iman itu kontekstual karena menjawab keprihatinan-keprihatinan dari konteks mereka sendiri (Suseno, 1992: 78-80).
Berbicara mengenai manusia dalam perspektif agama pada hekikatnya adalah berbicara tentang kepercayaan bahwa manusia itu baik adanya. Apa bila dia gagal untuk baik, pada dasarnya setiap agama selalu memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk memperbaiki diri karena setiap agama menuntun manusia menuju ke yang lebih baik. Berdasarkan ilusinya, manusia kadang-kadang merasa telah mencapai kebaikan. Saat itulah agama memberikan kesadaran bahwa penyempurnaan harus dilakukan terus-menerus. Di sana agama menjadi kebutuhan objektif (Sumartana dalam Mangunwijaya, 1995: 348).
Pengertian tunggal mengenai agama memang sulit dirumuskan, tetapi dalam beragama, Tuhan, yang kudus, juga menjadi tujuan tertinggi sebagaimana dikemukakan oleh Iqbal dalam Mangunwijaya (1994: 40-41). Iqbal menyatakan bahwa pengamalan agama dimulai dari tingkatan faith, yaitu penerimaan segala ajaran agama dengan taat tanpa syarat dan tanpa berpikir kritis. Pada tingkatan faith, agama menjadi ritual rutin yang harus dilaksanakan. Setelah tingkatan faith, pengamalan agama dilanjutkan ke tingkatan thought, yaitu memahami secara rasional segala sumber ajaran agama. Pada tingkatan ini, agama menjadi amalan hidup yang dihayati dan diamalkan sebagai tali hubungan manusia dengan Tuhan. Setelah tingkatan thought, pengamalan agama dilanjutkan pada tingkatan mistik. Pada tingkatan ini, pengamalan agama menjadi cermin dari pencapaian kepribadian yang merdeka, bukan karena pelepasan dari ikatan hukum ajaran agama, melainkan berkat penemuan sumber-sumber terakhir dari hukum di dalam hati nuraninya.
Sebagaimana dikatakan sebelumnya, lapis metafisika merupakan puncak lapis norma Roman Ingarden, sedangkan niveau religius merupakan puncak tingkatan keutuhan jiwa J. Elema. Dua pendapat dari ranah sastra ini bersentuhan dengan pendapat Iqbal yang menyatakan bahwa tingkatan tertinggi keberagamaan seseorang adalah tingkatan mistik. Karya sastra dan pengarang dalam lapis metafisika dan niveau religius serta seseorang dalam tingkatan mistik memiliki kesamaan dalam perenungannya tentang keadaan sekitar, alam, manusia, dan Tuhan. Mereka prihatin dengan keadaan yang tidak baik. Seorang mistik menghayati, sedangkan seorang pengarang menyerap dan menuangkannya dalam karya sastra. Karya sastra itu akan sangat baik hasilnya jika pengarang juga orang yang sudah mencapai tingkatan mistik dalam beragama.
Hubungan antara sastra dan agama lainnya yang tidak boleh dilupakan adalah hubungan ketandaan yang menjadi pembahasan dunia semiotik. Dalam teori semiotik, karya sastra dipandang struktur tanda yang bermakna. Teori semiotik berangkat dari pendangan bahwa fenomena sosial dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Tanda itu mempunyai dua aspek, yaitu penanda dan petanda. Penanda adalah bentuk formal yang menandai sesuatu, sedangkan petanda adalah yang ditandai dengan penanda. Sebagai contoh adalah kata “ibu” yang merupakan penanda bagi “orang yang melahirkan”. Orang yang melahirkan itu menjadi petanda. Dalam teori semiotik, yang dicari adalah tanda yang mengandung hubungan sebab akibat antara penanda dan petandanya, diistilahkan dengan indeks. Misalnya kata diagnosa (sic) yang merupakan penanda dunia kesehatan dan kata kuliah yang berhubungan dengan perguruan tinggi (Pradopo, 1995: 118-120).
Sebagai contoh adalah kata ka’bah dalam judul roman Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka. Kata ka’bah dalam roman tersebut tidak semata-semata menunjuk pada Ka’bah yang ada di kota Mekkah, tetapi juga Ka’bah imajiner yang ada dalam roman tersebut. Pembaca bisa memahami ka’bah dalam roman ini dengan melihat hubungan antara Ka’bah dan seorang muslim. Mengunjungi Ka’bah adalah keinginan hampir setiap orang muslim karena di sanalah dia merasa dapat bertemu Tuhan dan menemukan ketenangan. Kata ka’bah bagaimanapun tetap dikatakan bersumber dari sebuah agama, yaitu Islam, tetapi maknanya sudah dipindahkan oleh Hamka ke dalam romannya.
Akan tetapi, tidak semua orang suka bertemu dengan Tuhan. Berikut ini adalah cuplilkan puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Motif IV”:
…………
Aku takut pada sunyi
Aku takut pada suara hati
Tuhan, kapan engkau bakal mati?
……………
“Aku” dalam cuplikan puisi di atas, tidak suka kesunyian karena dia merasa saat itu Tuhan datang. Ketika Tuhan datang, “Aku” seakan-akan berhadapan dengan realita manusia, seperti dosa, kematian, dan refleksi kelam kehidupan lainnya yang tidak dia suka (Kurniawan, 2001: 144). Kata “Tuhan” dalam cuplikan puisi di atas juga merupakan tanda sebuah kekuasaan kudus yang sangat umum dikenal di kalangan umat beragama. Makna Tuhan ini telah dipindahkan oleh Subagio Sastrowardoyo dalam ke dalam puisi “Motif IV”.
Dari paparan di atas, ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil, yaitu:
  1. Hubungan pertama yang paling jelas antara sastra dan agama adalah kenyataan bahwa banyak karya sastra yang merupakan ungkapan penghayatan seseorang terhadap Tuhan.
  2. ubungan yang kedua adalah penggunaan simbol-simbol berupa kosakata yang sudah umum dipakai dalam kehidupan beragama sebagai tanda-tanda dalam karya sastra.
  3. Dalam menciptakan karya sastra, banyak pengarang yang tetap menjadikan agama sebagai patokan, sedangkan pengarang yang lain menganggap karya sastra bebas dari pengaruh agama. Perbedaan pendapat ini mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan para sastrawan dan ahli sastra.
  4. Pembaca karya sastra menggunakan cakrawala harapannya dalam memahami karya sastra. Pembaca yang berorientasi pada agama, tentunya mengharapkan karya sastra itu tidak menentang agama (dalam arti agama formal) sehingga penentangan agama lewat karya sastra akan mereka tanggapi secara negatif.
  5. Bagaimanapun, bisa dikatakan bahwa pengarang itu taat beragama atau tidak, karyanya tetap harus mengandung nilai-nilai estetika dan sesuai dengan konvensi sastra. Masyarakat sastralah yang akan memberikan penilaian karena kebesaran karya sastra ditentukan dengan kriteria di luar estetika, misalnya agama.
  6. Ilmu sastra, sebagai sebuah pengetahuan ilmiah, memiliki peran memberikan penjelasan ilmiah mengenai kaitan sastra dengan bidang-bidang lain di luar sastra, misalnya agama. Dengan demikian, siapa saja yang akan memberikan keterangan secara ilmiah mengenai keterkaitan sastra dengan bidang lain, harus pula memahami ilmu sastra.
Daftar Pustaka
Anshari, Endang Saifuddin. 1987. Ilmu, Filsafat, dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu
Badudu dan Zain, J.S. dan Muhammad. 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Bagyo. S. (ed). 1986. Sari Pelajaran Kesusatraan Indonesia. Djagalabilawa: Surakarta
Braden. Charles Samuel. 1954. The Worlds of Religions: A Short History. New York: Abingdon Press
Faruk, 1999. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Huijbers, Th. 1991. Manusia Merenungkan Dirinya. Kanisius: Yogyakarta
Kurniawan, Paulus Heru Wibowo. 2001. “Bahasa Puisi Subagyo Sastrowardoyo dalam “Dan Kematian Makin Akrab”: Analisis Formalisme dan Semiotika Riffaterr”. Skripsi S1 Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta: tidak diterbitkan
Mangunwijaya, Y.B. 1994. Sastra dan Religiositas. Yogyakarta: Kanisius.
________________ 1995. Mendidik Manusia Merdeka. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Pradopo, Rachmat Joko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
_____________________ 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
_____________________ 1997. Prinsip-prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Suseno, Frans Magnis. 1992. Filsafat-Kebudayaan-Politik: Butir-butir Pemikiran Kritis. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Teeuw. A. 1955. Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia. Jilid I. Pembangunan: Jakarta
__________ 1980. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya
__________ 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Pustaka Jaya: Jakarta.
__________1991. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Veeger, V. J. 2001. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Prenhallindo



Sumber : https://hanzkylakesmas.wordpress.com/2011/12/06/sastra-dan-agama/#more-90

Tidak ada komentar:

Posting Komentar