Penulis memulai esai ini dengan
pembahasan mengenai sastra. Penulis merasa penting membahas sastra lebih
dahulu karena dari sastralah penulis akan mencari hubungan antara
sastra dan agama. Selain itu, pembahasan agama yang juga membahas sastra
belum banyak penulis temukan, tetapi banyak pembahasan sastra yang
tidak lepas dari pembahasan mengenai agama. Dengan cara seperti ini,
penulis berharap mendapatkan hasil yang maksimal dan bisa memberikan
gambaran mengenai hubungan sastra dan agama. Istilah sastra berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti ‘tulisan’ atau ‘karangan’. Sastra biasanya diartikan sebagai
karangan dengan bahasa yang indah dan isi yang baik. Bahasa yang indah
artinya bisa menimbulkan kesan dan menghibur pembacanya. Isi yang baik
artinya berguna dan mengandung nilai pendidikan. Indah dan baik ini
menjadi fungsi sastra yang terkenal dengan istilah dulce et utile. Bentuk fisik dari sastra disebut karya sastra. Penulis karya sastra disebut sastrawan (Bagyo S. (ed), 1986: 7).
Sastra memiliki beberapa ciri, yaitu kreasi, otonom, koheren,
sintesis, dan mengungkapkan hal yang tidak terungkapkan. Sebagai kreasi,
sastra tidak ada dengan sendirinya. Sastrawan menciptakan dunia baru,
meneruskan penciptaan itu, dan menyempurnakannya. Sastra bersifat otonom
karena tidak mengacu pada sesuatu yang lain. Sastra dipahami dari
sastra itu sendiri. Sastra bersifat koheren dalam arti mengandung
keselarasan yang mendalam antara bentuk dan isi. Sastra juga menyuguhkan
sintesis dari hal-hal yang bertentangan di dalamnya. Lewat media
bahasanya sastra mengungkapkan hal yang tidak terungkapkan (Luxemburg
dkk. terj. Hartoko, 1989: 5-6).
Berbicara mengenai sastra tentu tidak bisa lepas dari pembicaraan
mengenai ilmu sastra. Ilmu sastra saat ini sudah menjadi disiplin ilmu
tersendiri dan mapan. Menurut Wellek dan Warren, ilmu sastra terbagi
menjadi tiga bagian, yaitu teori sastra, sejarah sastra, dan kritik
sastra. Teori sastra bergerak di bidang teori, misalnya mengenai
pengertian sastra, hakikat sastra, gaya sastra, dan lain-lain. Sejarah
sastra bergerak di bidang sejarah perkembangan sastra. Kritik sastra
bergerak di bidang penilaian baik-buruknya karya sastra (Pradopo, 1997:
9). Dalam esai ini, penulis lebih banyak berbicara dari perspektif
cabang kritik sastra karena cabang itulah yang banyak memberikan
gambaran hubungan sastra dan agama.
Bagaimana hubungan sastra dan agama? Dunia sastra Indonesia tidak
akan lupa dengan Nota Rinkes yang menyatakan bahwa karya sastra tidak
boleh berpolitik, tidak menyinggung agama (netral terhadap agama), dan
tidak menyinggung kesusilaan masyarakat (Teeuw, 1955: 60). Akan tetapi,
menurut hemat penulis, agama yang dimaksud adalah agama formal yang
menunjuk pada satu agama tertentu bukan semangat dasar dari agama.
Pendapat berikut ini justru menunjukkan hubungan sastra dan agama:
Seni dan sastra mengungkapkan masalah dan pengalaman manusia,
suka dan dukanya. Khusus pengalaman manusia mengenai adanya Tuhan serta
peran Tuhan dalam hidupnya diungkapkan dalam seni dan sastra. Oleh
karena itu, seni dan sastra harus diberi tempat yang wajar dan terhormat
dalam kehidupan kelompok beragama (Gaudium et Spes, No. 62 dalam Veeger dkk., 2001: 14).
Pernyataan di atas menegaskan sastra sebagai salah satu media
pengungkapan pengalaman manusia mengenai adanya Tuhan dan peran Tuhan
dalam kehidupan tanpa menunjuk agama tertentu. Penulis mencoba memakai
pendekatan-pendekatan sastra yang mungkin bisa digunakan dalam
pengungkapan pengalaman tersebut.
Berdasarkan pendapat Abrams, setidaknya ada empat pendekatan terhadap
karya sastra, yaitu ekspresif, pragmatik, mimetik, dan objektif.
Keempat pendekatan ini dibedakan dari peran yang ditonjolkan. Pendekatan
ekspresif menonjolkan peran penulis sebagai pencipta karya sastra.
Pendekatan pragmatik menonjolkan pembaca sebagai penghayat karya sastra.
Pendekatan mimetik menonjolkan karya sastra sebagai tiruan alam.
Pendekatan objektif menonjolkan peran karya sastra sebagai sesuatu yang
berdiri sendiri (Teeuw, 1991: 59-60). Sebagai langkah awal, penulis
menjadikan keempat pendekatan sastra dari Abrams ini sebagai landasan
dalam membahas hubungan sastra dan agama.
Dalam pendekatan ekspresif, karya sastra dipandang sebagai ekspresi
sastrawan. Kriteria yang dikenakan adalah ketepatan karya sastra dalam
mengekspresikan kejiwaan sastrawan. Ketika menulis karya sastra,
sastrawan tidak bisa lepas dari sejarah sastra dan latar belakang
budayanya (Pradopo, 1995: 108). Karya sastra tidak lahir dalam
kekosongan budaya (Teeuw, 1980: 11, 12).
Karya sastra menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam
interaksinya dengan diri sendiri, lingkungan, dan juga Tuhan. Karya
sastra berisi penghayatan sastrawan terhadap lingkungannya. Karya sastra
bukan hasil kerja lamunan belaka, melainkan juga penghayatan sastrawan
terhadap kehidupan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan
tanggungjawab sebagai sebuah karya seni (Nurgiyantoro, 1998: 3).
Ada yang berpendapat bahwa dalam berekspresi sastrawan bebas
memperlakukan tokoh-tokoh dalam karya sastra. Akan tetapi, sastrawan
dituntut membuat alur cerita yang logis bagi tokoh-tokohnya. Tokoh-tokoh
yang dari awal dicitrakan dengan sifat tertentu, tidak logis bila
memerankan cerita yang di luar kemampuannya. Tidak logis tokoh yang
sejak awal dicitrakan berprilaku buruk kemudian menjadi baik tanpa
sebab. Tokoh-tokoh ciptaan itu harus dihormati kedaulatannya agar mereka
berbicara sendiri, bukan karena kekuasaan sastrawan. Keyakinan agama,
pandangan hidup, bahkan ideologi politik seorang sastrawan juga
berpengaruh pada karyanya, tetapi kelogisan alur cerita harus
dipertahankan oleh sastrawan (Lubis, 1997: 4, 5, 7).
Dalam memilih tema cerita, sastrawan harus punya kepekaan terhadap
keadaan masyarakat dan zamannya. Sastrawan harus bisa menangkap berbagai
persoalan yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Sangat disayangkan bila
karya sastra hanya menggambarkan hal-hal yang indah dan baik, padahal
masyarakat sekitarnya dalam kesulitan dan kesusahan. Banyak novel pop
dan film Indonesia yang menggambarkan kehidupan mewah, padahal
kebanyakan masyarakat Indonesia dalam kenyataan hidup yang getir (Lubis,
1997: 8).
Karya sastra memiliki peran yang penting dalam masyarakat karena
karya sastra merupakan ekspresi sastrawan berdasarkan pengamatannya
terhadap kondisi masyarakat sehingga karya sastra itu menggugah perasaan
orang untuk berpikir tentang kehidupan. Membaca karya sastra merupakan
masukan bagi seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Para penguasa sering melarang peredaran karya-karya sastra yang dianggap
membahayakan pemerintahannya. Buku-buku dimusnahkan dan
sastrawan-sastrawan diasingkan. Pramoedya Ananta Toer pernah diasingkan
ke Pulau Buru. Karya Mochtar Lubis berjudul Senja di Jakarta
juga pernah dilarang beredar oleh Sukarno. Kekerasan ini terjadi karena
sastrawan lewat karyanya berusaha melakukan perlawanan terhadap
ketidakadilan penguasa (Lubis, 1997: 18, 25, 32-33).
Perlawanan yang dilakukan oleh para sastrawan tidak hanya terhadap
ketidakadilan penguasa, tetapi juga terhadap aturan adat yang biasa
berlaku di masyarakat. Pertanyaan ini biasanya hampir selalu bermuara
pada pertanyaan mengenai peraturan agama formal. Dengan karya sastranya,
para sastrawan sering mempertanyakan, bahkan meragukan efisiensi atau
makna agama sebagai institusi yang menampakkan diri reaksioner dan hanya
berbicara tentang akhirat. Sebagai contoh roman Tenggelamnya Kapal van Der Wijk
karya Hamka. Zainudin, tokoh dalam roman tersebut yang keturunan orang
Minang tetapi dibesarkan di keluarga Bugis, ditolak permintaannya untuk
menikah dengan Hayati karena Zainudin miskin dan dianggap tidak kufu’ (setara) dengan Hayati (Mangunwijaya, 1994: 42, 49). Di sini, konsep agama (Islam) dijadikan alasan.
Permasalahan perkawinan berdasar adat dan agama juga disinggung dalam roman Siti Nurbaya.
Yang dipertanyakan adalah longgarnya aturan poligami di kalangan
masyarakat Minangkabau dengan dalih bahwa agama (Islam) mengizinkan.
Kaum lelaki bisa dengan mudahnya menambah istri bila ada yang melamar
(dalam adat Minangkabau, perempuan “membeli” laki-laki untuk menjadi
suaminya). Suami-istri diikat dengan hubungan uang bukan kasih sayang
sehingga mudah sekali bercerai. Banyak sekali keburukan dari poligami
dan keburukan itu lebih banyak menimpa para istri (Pradopo, 1995:
189-191).
Hal yang berbeda disampaikan oleh Umar Yunus dalam menanggapi hubungan cerpen “Datangnya dan Perginya” dengan novel Kemarau
karya A.A. Navis. Keduanya mengisahkan seorang ayah bernama Sutan Duano
yang sangat sedih karena kematian istrinya. Sutan Duano sudah memiliki
seorang anak laki-laki bernama Masri. Setelah itu dia beberapa kali
menikah dan juga bercerai. Di antara istri-istri yang dinikahi dan
diceraikan ada yang melahirkan anak perempuan dan diberi nama Arni.
Berpuluh tahun kemudian, Arni, yang tidak diketahui asal-usulnya baik
oleh Sutan Duano maupun Masri, menikah dengan Masri dan mempunyai dua
orang anak. Ketika Arni sedang mengandung anaknya yang ketiga, Sutan
Duano mengetahui bahwa Arni adalah anak dari salah satu istrinya. Dia
berada dalam dilema, apakah membiarkan sebuah dosa menurut agama
(pernikahan Masri dengan Arni yang sebenarnya kakak beradik) demi
keutuhan keluarga Masri atau mencegahnya dengan resiko keluarga Masri
hancur berantakan. Pada “Datangnya dan Perginya”, sang Ayah memilih
alternatif pertama, tetapi pada Kemarau, sang ayah memilih alternatif kedua (Mangunwijaya, 1994: 13-14).
Dalam novel Keluarga Permana terjadi perselisihan antara dua
keyakinan, yaitu Islam dan Katolik. Farida, putri Permana, berkenalan
dan berpacaran dengan Sumarto walaupun mereka berbeda agama. Farida
beragama Islam, sedangkan Sumarto beragama Katolik. Permana menolak
Sumarto menjadi menantunya, padahal Farida sedang mengandung bayi, buah
cintanya dengan Sumarto. Atas perintah Permana, bayi itu digugurkan.
Akan tetapi, cinta Farida sudah terlanjur hanya kepada Sumarto, maka
dengan berat hati Permana mengizinkan pernikahan mereka berdua. Demi
cinta, Farida pindah agama mengikuti Sumarto. Beberapa minggu setelah
menikah, Farida jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit. Ketika sakitnya
semakin keras dan hampir meninggal, seorang perawat membimbingnya dengan
tata cara Islam (Nurgiyantoro, 1998: 330). Begitulah para sastrawan
mempertanyakan adat dan agama lewat karyanya.
Sastrawan menulis karya sastra, antara
lain, untuk menyampaikan model kehidupan yang diidealkan dan ditampilkan
dalam cerita lewat para tokoh. Dengan karya sastranya, sastrawan
menawarkan pesan moral yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur
kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia. Sifat-sifat itu
pada hakikatnya universal, artinya diyakini oleh semua manusia. Pembaca
diharapkan dalam menghayati sifat-sifat ini dan kemudian menerapkannya
dalam kehidupan nyata (Nurgiyantoro, 1998: 321).
Moral dalam karya sastra atau hikmah yang akan disampaikan oleh
sastrawan selalu dalam pengertian yang baik karena pada awal mula semua
karya sastra adalah baik (Mangunwijaya, 1994: 16). Jika dalam cerita
ditampilkan sikap dan tingkah laku tokoh-tokoh yang tidak terpuji, baik
mereka berlaku sebagai tokoh antagonis maupun protagonis, bukan berarti
sastrawan menyarankan bertingkah laku demikian. Pembaca diharapkan dapat
mengambil hikmah sendiri dari cerita. Sesuatu yang baik justru akan
lebih mencolok bila dikonfrontasikan dengan yang tidak baik
(Nurgiyantoro, 1998: 322).
Pesan moral merupakan bentuk keagamaan yang paling tampak dalam karya
sastra. Dalam konteks karya sastra pesan moral itu merupakan isi. Pesan
moral itu merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh sastrawan
kepada pembaca lewat karya sastra yang ditulisnya. Pesan moral itu
menjadikan saran yang ditujukan langsung kepada pembaca. Sebagaimana
tema, pesan moral itu hanya dapat ditangkap melalui penafsiran cerita.
Ia merupakan “petunjuk” praktis mengenai berbagai hal yang berhubungan
dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun
pergaulan. Sastrawan menyampaikan pesan itu lewat penampilan tokoh-tokoh
cerita (Kenny dalam Nurgiyantoro, 1998: 320-321).
Contoh pesan moral yang disampaikan dalam karya sastra adalah keseimbangan pergaulan suami-istri seperti dalam roman Siti Nurbaya
karya Marah Rusli. Tuntutan keseimbangan karena banyaknya ketidakadilan
yang menimpa para istri. Para suami memperlakukan istrinya seperti
budak sehingga mereka bebas memukul dan menyakiti, sedangkan istri tidak
bisa membalas. Para suami boleh pergi ke mana saja, sedangkan para
istri harus selalu di rumah. Seharusnya, rumah tangga dikelola oleh
suami dan istri bersama-sama dengan pembagian kerja yang adil,
diistilahkan dengan “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”.
Keduanya tidak boleh melalaikan kewajiban keluarga. Suami dan istri
adalah teman sehingga harus berusaha menyenangkan dan jangan sampai
menyakiti hati temannya. Keseimbangan pergaulan inilah yang sebenarnya
menjadi ajaran agama (Pradopo, 1995: 192-194).
Model kehidupan ideal yang ditawarkan sastrawan bukan hanya lewat
pesan moral yang biasanya menunjuk pada kehidupan pribadi. Sastrawan
juga menawarkan bentuk kehidupan ideal dalam kehidupan sosial karena
sesungguhnya karya sastra merupakan “struktur yang berarti”. Karena
mempunyai struktur, karya sastra harus koheren. Karena mempunyai arti,
karya sastra terkait dengan usaha manusia memecahkan
persoalan-persoalannya dalam kehidupan sosial yang nyata (Goldmann dalam
Faruk, 1999: 19).
Pemecahan persoalan sosial lewat karya sastra terkait dengan
konvensi-konvensi kesusastraan. Konvensi-konvensi itu selalu ada dalam
aktivitas kesusastraan karena konvensi-konvensi itu menentukan sejauh
mana suatu objek dapat dianggap sebagai karya sastra pada umumnya atau
sebagai karya yang baik atau yang buruk pada khususnya. Sastrawan tidak
dilarang untuk melakukan “pendobrakan” terhadap konvensi-konvensi sastra
karena masyarakat sastralah yang nanti akan menilai apakah
“pendobrakan” itu masih dalam batasan keindahan karya sastra atau tidak.
Sastrawan juga perlu memperhatikan konvensi-konvensi sastra yang
berlaku sebelumnya karena “pendobrakan” terhadap konvensi sastra akan
terlihat maknanya jika dipertentangkan dengan konvensi sebelumnya
(Teeuw, 1991: 29).
Ada hubungan yang menarik ketika konvensi sastra itu dikaitkan dengan
struktur sosial. Menurut Faruk (1999: 44-47) kemungkinan hubungan
tersebut ada empat, yaitu hubungan kelembagaan, hubungan permodelan,
hubungan interpretatif, dan hubungan pembatasan. Hubungan yang pertama
adalah hubungan kelembagaan yang menganggap konvensi-konvensi tersebut
sebagai sebuah lembaga sosial yang diterima dan dipertahankan oleh
masyarakat. Perubahan pada konvensi-konvensi tersebut akan berakibat
perubahan pada struktur sosial dan perubahan pada struktur sosial akan
berakibat perubahan pada konvensi-konvensi kesusastraan. Hal ini
misalnya pada permulaan tahun 1900-an ketika terjadi penolakan terhadap
segala bentuk karya sastra lama yang dianggap telah usang. Penolakan ini
misalnya pada puisi seperti yang dinyatakan oleh Rustam Efendi dalam
puisi yang berjudul “Bukan Beta Bijak Berperi”. Rustam Efendi adalah
sastrawan angkatan Balai Pustaka. Dalam puisi tersebut, periodus (bagian
yang sama dalam puisi dan biasa dipakai dalam puisi lama) dipakai
secara teratur, tetapi Rusatam Efendi tidak memakai sampiran Akan
tetapi, dalam puisi karya Chairil Anwar yang berjudul “Hampa” periodus
sudah tidak banyak dipakai. Bahkan, dalam puisinya yang berjudul “1943”
periodus tidak begitu terlihat karena menggunakan kalimat-kalimat
pendek. Pada puisi-puisi sekarang, sedikit sekali ada periodus (Pradopo,
1987: 8-11).
Hubungan yang kedua adalah hubungan permodelan. Menurut Lotman,
sastra merupakan suatu wacana yang memodelkan semesta yang tidak
terbatas dalam satu semesta imajiner yang terbatas. Dengan demikian,
menurut Culler, karya sastra berfungsi sebagai model yang dengannya
masyarakat memahami dirinya sendiri. Dalam hal ini, pembacaan dan
penciptaan karya sastra berpegang pada konvensi bahwa karya sastra
adalah gambaran dari kehidupan nyata, sehingga perilaku menyimpang dalam
karya sastra akan menimbulkan reaksi. Sebagai contoh adalah pengadilan
terhadap Flaubert pada tahun 1857 di Perancis. Flaubert dikecam karena
karyanya berjudul Madame Bovary yang mengisahkan tokoh pelaku
zina bernama Emma. Perbuatan zina, bagaimanapun, adalah dosa menurut
agama dan pelakunya harus dihukum. Akan tetapi, Emma tidak mendapatkan
hukuman. Hal ini dianggap oleh kaum Borjuis mengancam tata susila. Di
Indonesia, Ariel Heryanto mencatat peristiwa serupa yang dialami oleh
sastrawan berinisial Ynt atau JLD. Pada bulan September 1982. Dia
dihukum penjara oleh Pengadilan Negeri Ujung Pandang selama tiga tahun
masa percobaan delapan bulan. Hukuman ini dijatuhkan pengadilan karena
Ynt dianggap mencemarkan nama baik RIB, seorang gadis yang kebetulan
juga tokoh utama dalam cerpen “Kenangan Manis di SMA” karya Ynt (Faruk,
1999: 47-48).
Hubungan ketiga adalah hubungan interpretatif. Hubungan ini terjadi
ketika pandangan dunia atau struktur sosial diekspresikan dalam karya
sastra menggunakan konvensi-konvensi sastra. Misalnya dalam roman Siti Nurbaya
karya Marah Rusli. Dalam roman tersebut ada peristiwa politik, yaitu
pemberontakan rakyat Padang terhadap Belanda karena kebijakan pajak.
Samsul Bahri, sebagai tokoh utama, terlibat dalam pertempuran rakyat
Padang dengan Belanda, tetapi dia berada di pihak Belanda. Samsul Bahri
bertempur bukan karena tujuan politis atau jabatan militer, melainkan
karena mencari kematian untuk menyusul kekasihnya, Siti Nurbaya.
Keinginan Samsul Bahri ini bisa dipahami melalui interpretasi dari salah
satu konvensi sastra, yaitu konvensi sastra romantis (Faruk, 1999:
48-49).
Hubungan keempat adalah hubungan pembatasan. Pada abad XVIII konsep
kesusastraan di Inggris tidak hanya dibatasi pada tulisan-tulisan
kreatif atau imajinatif. Bila tulisan yang dianggap memenuhi konvensi
“sopan dan baik” oleh pembaca, itu sudah dianggap sastra. Pada abad XIX
terjadi penyempitan arti kesusastraan yang hanya sebagai karya-karya
kreatif dan imajinatif. Konvensi yang dipakai pada waktu itu adalah
konvesi sastra romantik. Pada waktu itu terjadi revolusi berupa
perubahan dari rezim kolonialis feodal ke rezim kelas menengah. Para
sastrawan menciptakan karya sastra mengenai harapan karena perubahan
rezim. Akan tetapi, setelah kelas menengah berkuasa, mereka melakukan
pemerasan terhadap kelas pekerja sehingga para pekerja melakukan protes.
Protes ini diredam dengan kekerasan oleh penguasa. Peristiwa ini juga
ditanggapi oleh para sastrawan secara romantik dengan karya sastra
mengenai harapan akan keadilan. Konvensi sastra romantik ini membatasi
gerak imajinasi para sastrawan untuk menghasilkan karya sastra dengan
warna yang berbeda (Eagleton dalam Faruk, 1999: 49-52).
Apabila dalam pendekatan ekspresif karya sastra dipandang sebagai
ekspresi pengarang, dalam pendekatan pragmatik, karya sastra dipandang
sebagai sarana mencapai tujuan pada pembaca. Kriteria yang dikenakan
adalah tercapainya tujuan tersebut. Peran pembaca menjadi sangat besar
karena dari waktu ke waktu, karya sastra selalu mendapat tanggapan dan
penilaian. Karya itu memang tetap, tetapi tanggapan terhadapnya bisa
berbeda-beda (Wellek dalam Pradopo, 1995: 8). Perbedaan tanggapan itu
disebabkan oleh horison atau cakrawala harapan, yaitu konsep-konsep yang
dimiliki oleh masing-masing pembaca karena pendidikan, pengalaman
hidup, norma yang dianut, dan lain-lain. Horison itu ditentukan oleh
tiga kriteria. Pertama, ditentukan oleh norma-norma yang terpancar pada
teks-teks yang dibaca. Kedua, ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman
atas karya sastra yang telah dibaca. Ketiga, ditentukan oleh kemampuan
pembaca dalam memahami kehidupan (Segers dalam Pradopo, 1995: 9, 116).
Pembaca perlu memberikan arti kepada karya sastra, sebab karya sastra
itu hanya akan menjadi artefak bila tidak diberi arti oleh pembaca
dengan cara konkretisasi (pemaknaan) (Teeuw, 1984: 191). Dengan
pemaknaan makna yang tadinya tidak terlihat menjadi jelas. Selain
konkretisasi, pembaca juga melakukan rekuperasi, yaitu “perebutan” makna
oleh pembaca sehingga makna itu menjadi milik pembaca (Pradopo, 1995:
106). Peran pembaca dalam memahami karya sastra ini menjadi dasar teori
resepsi sastra.
Di antara para pembaca karya sastra itu, banyak yang merupakan para
peneliti sastra atau yang biasa disebut kritikus sastra. Tidak setiap
pembaca karya sastra bisa menjadi kritikus karena banyaknya banyak ilmu
yang harus dipelajari. Seorang kritikus perlu menguasai ilmu agama,
filsafat, sejarah, dan ilmu pengetahuan lainnya sebagai sandaran dalam
melakukan interpretasi tentang kehidupan sastrawan yang terpancar dalam
karya-karyanya. Ilmu-ilmu itu diperlukan agar kritik yang dilakukannya
kokoh dan kuat. Dalam melakukan kritik, kritikus bersikap seperti
ahli-ahli ilmu pengetahuan lainnya yang objektif dalam melakukan
penelitian. Dengan kata lain, kritikus itu tidak “pandang bulu” dalam
melakukan sebuah kritik (Pradopo, 1997: 12).
Pendekatan ketiga, setelah pendekatan ekspresif dan pragmatik, adalah
pendekatan mimetik yang memandang karya sastra sebagai tiruan alam atau
kehidupan. Kriteria yang dikenakan adalah ketepatan karya sastra
menggambarkan alam atau kehidupan. Pendekatan mimetik ini sangat dekat
dengan hubungan permodelan seperti yang disampaikan Faruk. Perilaku
menyimpang dalam karya sastra akan ditanggapi negatif. Belum lama ini,
juga terjadi kecaman terhadap Muhyiddin M. Dahlan akibat novelnya yang
berjudul Tuhan, Ijinkan Aku Jadi Pelacur. Novel tersebut
dianggap melecehkan komunitas dakwah yang ada di kampus karena Nidah
Kirani, tokoh dalam cerpen tersebut, digambarkan sebagai aktivis dakwah
kampus yang kemudian berubah menjadi “pendosa” karena kecewa kepada
Tuhan. Semua ini terjadi karena para pembaca menganggap bahwa karya
sastra adalah tiruan kehidupan nyata.
Pendekatan terakhir adalah pendekatan objektif yang memandang karya
sastra sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Kriteria yang dikenakan
adalah kemampuan karya sastra itu untuk berdiri sendiri. Ada tiga paham
tentang penilaian terhadap karya sastra secara objektif, yaitu paham
relativisme, absolutisme, dan perspektivisme. Penilaian relativisme
menyatakan bahwa bila sebuah karya sastra dianggap bernilai pada suatu
waktu dan tempat tertentu, pada waktu dan tempat yang lain juga harus
dianggap bernilai. Penilaian absolutisme menyatakan bahwa penilaian
karya sastra harus didasarkan pada ukuran dogmatis, misalnya, agama
seperti yang dikemukakan oleh Tolstoy:
“Agama adalah eksponen (yang memegang peranan) pengertian kehidupan
tertinggi yang mungkin diterima oleh sebagian besar masyarakat pada
waktu dan tempat tertentu. Agama merupakan suatu pengertian terhadap
hal-hal yang harus tak dielakkan dan kemajuan yang tidak dapat ditolak
oleh semua anggota masyarakat. Karena itu, agama selalu berlaku dan
tetap berlaku sebagai dasar penilaian perasaan manusia. Bila perasaan
itu mendekatkan orang-orang kepada ideal yang ditunjukkan oleh agama
mereka dan mereka selaras dengannya, maka perasaan itu baik. Bila
perasaan itu menjauhkan orang-orang dari ideal yang ditunjukkan oleh
agama mereka dan mereka berlawanan dengannya, maka perasaan itu buruk.”
Penilaian perspektivisme menyatakan bahwa penilaian karya sastra
harus dilakukan dari berbagai sudut pandang sejak karya sastra itu
tercipta (terbit) sampai sekarang (Pradopo, 1997: 49-51).
Menurut T. S. Eliot, mengukur kesastraan sebuah karya sastra adalah
dengan kriteria estetik, sedangkan mengukur kebesaran karya sastra
adalah dengan kriteria di luar estetik (Lubis, 1997: 15). Salah satu
kriteria estetik yang bisa dipakai adalah kriteria norma sastra. Rene
Wellek menyatakan bahwa karya sastra mengandung norma-norma karya
sastra, yaitu tata nilai impilisit yang harus ditarik dari karya sastra
dan menunjukkan karya sastra sebagai keseluruhan. Norma karya sastra itu
terdiri dari beberapa lapis seperti yang dikemukakan oleh Rene Wellek
tentang analisis Roman Ingarden dengan metode phenomenologi Edmund
Husserl. Lapis-lapis itu adalah, lapis suara (berupa kata), lapis arti
(berupa kalimat), dan lapis obyek (berupa dunia sastrawan). Roman
Ingarden menambahkan dua lapis lagi, yaitu lapis dunia (berupa sudut
pandang sastrawan) dan lapis metafisika (berupa renungan terhadap yang
kudus) (Pradopo, 1997: 54-55).
Lapis metafisika yang menjadi puncak lapis-lapis norma dalam paparan
Rene Wellek di atas merupakan satu tujuan puncak dalam sastra.
Lapis-lapis norma ini mirip dengan konsep keutuhan jiwa dari J. Elema
yang menyatakan bahwa karya sastra itu tidak bernilai tinggi bila tidak
meliputi keutuhan jiwa. Dalam kaitannya dengan karya sastra, keutuhan
jiwa ini diterangkan oleh Subagio Sastrowardojo sebagai lima tingkatan
jiwa manusia, yaitu niveau anorganis, niveau vegetatif, niveau animal, niveau human, dan niveau religius. Pada tingkatan niveau anorganis, karya sastra itu berupa bentuk formal seperti pola bunyi, kalimat, gaya bahasa, dan lain-lain. Pada tingkatan niveau vegetatif, karya itu menghadirkan suasana kejiwaan, seperti romantis, mengerikan, marah, dan sebagainya. Pada tingkatan niveau animal, karya sastra menghadirkan hasrat-hasrat kebinatangan, seperti makan, minum, membunuh, dan lain-lain. Pada tingkatan niveau human,
karya sastra menghasilkan renungan-renungan batin, rasa belas kasihan,
rasa simpati, dan pengalaman-pengalaman lain yang hanya bisa dirasakan
oleh manusia. Pada tingkatan niveau religius, karya sastra
menghadirkan renungan-renungan mengenai Tuhan, pengalaman mistik, dan
renungan-renungan lain yang sampai pada hakikat (Pradopo, 1997: 57-58).
Dari sini menjadi jelas bahwa Tuhan, dengan kata lain yang kudus,
merupakan puncak kegiatan bersastra yang dilakukan oleh para sastrawan.
Mengukur kebesaran sastra dengan kriteria di luar estetik seperti
yang pendapat T. S. Eliot di atas bisa diwujudkan dengan menggunakan
kriteria agama, walaupun sejauh ini sulit sekali menemukan definisi
final dari agama. Sebagaimana yang sudah biasa disampaikan bahwa dalam
bahasa Sansekerta, kata agama terdiri dari dua kata, yaitu a yang berarti ‘tidak’ dan gama yang berarti ‘kacau’. Dengan demikian, agama
berarti ‘tidak kacau’. Menurut Badudu (1996: 11), agama diartikan
sebagai kepercayaan kepada Tuhan atau dewa serta dengan ajaran dan
kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu. Arti agama yang lain
seperti yang disampaikan oleh Huijbers (1992: 9), yaitu cara tertentu
untuk menghayati kepercayaan pada Allah.
Agama dalam arti luas dapat didefinisikan sebagai penerimaan atas
tata aturan dari kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi daripada manusia
itu sendiri. Bentuk-bentuk yang khas dari kepercayaan dan aktivitas
manusia yang merupakan aktivitas agama adalah kebaktian, pemisahan
antara yang sakral dan yang profan, kepercayaan kepada jiwa, kepercayaan
kepada dewa-dewa atau tuhan, penerimaan wahyu yang supranatural, dan
pencarian keselamatan (Bozman dalam Anshari, 1987: 119).
Seperti yang telah disampaikan, sangat sulit menemukan definisi final
agama. Akan tetapi, dari definisi-definisi yang banyak ditulis oleh
para ahli, ada dua pendekatan yang mungkin tepat bila dikatakan sebagai
sudut pandang mereka. Dua pendekatan itu adalah pendekatan “apa” dan
pendekatan “mengapa”. Pendekatan “apa” menimbulkan pertanyaan “Apa yang
dilakukan orang ketika dia beragama?”. Pendekatan “mengapa” menimbulkan
pertanyaan “Mengapa orang melakukan ajaran agama?” (Braden, 1954: 16).
Di dalam agama, secara umum manusia mengakui adanya yang suci.
Manusia insaf bahwa ada suatu kekuasaan yang memungkinkan dan melebihi
segala yang ada. Kekuasaan inilah yang dianggap sebagai asal atau khalik
segala yang ada. Tentang kekuasaan ini, bermacam-macam bayangan yang
terdapat manusia, demikian juga cara membayangkannya. Demikianlah Tuhan
dianggap oleh manusia sebagai tenaga gaib di seluruh dunia dan dalam
unsur-unsur-Nya atau sebagai khalik rohani. Tenaga gaib ini menjelma
antara lain dalam alam (animisme), dalam buku suci (Torat), atau dalam
manusia (Kristus) (Mulia dan Hiddung dalam Anshari, 1987: 124)
Yang mutlak dalam agama adalah unsur ilahi dan unsur ilahi itu adalah
wahyu. Dalam agama, orang menjawab dengan iman. Umat beragama dengan
sendirinya mengungkapkan iman mereka pada wahyu melalui wujud-wujud yang
bermakna bagi mereka dan wujud-wujud itu ditentukan oleh kebudayaan.
Iman itu kontekstual karena menjawab keprihatinan-keprihatinan dari
konteks mereka sendiri (Suseno, 1992: 78-80).
Berbicara mengenai manusia dalam perspektif agama pada hekikatnya
adalah berbicara tentang kepercayaan bahwa manusia itu baik adanya. Apa
bila dia gagal untuk baik, pada dasarnya setiap agama selalu memberikan
kesempatan kepada setiap orang untuk memperbaiki diri karena setiap
agama menuntun manusia menuju ke yang lebih baik. Berdasarkan ilusinya,
manusia kadang-kadang merasa telah mencapai kebaikan. Saat itulah agama
memberikan kesadaran bahwa penyempurnaan harus dilakukan terus-menerus.
Di sana agama menjadi kebutuhan objektif (Sumartana dalam Mangunwijaya,
1995: 348).
Pengertian tunggal mengenai agama memang sulit dirumuskan, tetapi
dalam beragama, Tuhan, yang kudus, juga menjadi tujuan tertinggi
sebagaimana dikemukakan oleh Iqbal dalam Mangunwijaya (1994: 40-41).
Iqbal menyatakan bahwa pengamalan agama dimulai dari tingkatan faith, yaitu penerimaan segala ajaran agama dengan taat tanpa syarat dan tanpa berpikir kritis. Pada tingkatan faith, agama menjadi ritual rutin yang harus dilaksanakan. Setelah tingkatan faith, pengamalan agama dilanjutkan ke tingkatan thought,
yaitu memahami secara rasional segala sumber ajaran agama. Pada
tingkatan ini, agama menjadi amalan hidup yang dihayati dan diamalkan
sebagai tali hubungan manusia dengan Tuhan. Setelah tingkatan thought,
pengamalan agama dilanjutkan pada tingkatan mistik. Pada tingkatan ini,
pengamalan agama menjadi cermin dari pencapaian kepribadian yang
merdeka, bukan karena pelepasan dari ikatan hukum ajaran agama,
melainkan berkat penemuan sumber-sumber terakhir dari hukum di dalam
hati nuraninya.
Sebagaimana dikatakan sebelumnya, lapis metafisika merupakan puncak lapis norma Roman Ingarden, sedangkan niveau religius
merupakan puncak tingkatan keutuhan jiwa J. Elema. Dua pendapat dari
ranah sastra ini bersentuhan dengan pendapat Iqbal yang menyatakan bahwa
tingkatan tertinggi keberagamaan seseorang adalah tingkatan mistik.
Karya sastra dan pengarang dalam lapis metafisika dan niveau religius
serta seseorang dalam tingkatan mistik memiliki kesamaan dalam
perenungannya tentang keadaan sekitar, alam, manusia, dan Tuhan. Mereka
prihatin dengan keadaan yang tidak baik. Seorang mistik menghayati,
sedangkan seorang pengarang menyerap dan menuangkannya dalam karya
sastra. Karya sastra itu akan sangat baik hasilnya jika pengarang juga
orang yang sudah mencapai tingkatan mistik dalam beragama.
Hubungan antara sastra dan agama lainnya yang tidak boleh dilupakan
adalah hubungan ketandaan yang menjadi pembahasan dunia semiotik. Dalam
teori semiotik, karya sastra dipandang struktur tanda yang bermakna.
Teori semiotik berangkat dari pendangan bahwa fenomena sosial dan
kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Tanda itu mempunyai dua aspek,
yaitu penanda dan petanda. Penanda adalah bentuk formal yang menandai
sesuatu, sedangkan petanda adalah yang ditandai dengan penanda. Sebagai
contoh adalah kata “ibu” yang merupakan penanda bagi “orang yang
melahirkan”. Orang yang melahirkan itu menjadi petanda. Dalam teori
semiotik, yang dicari adalah tanda yang mengandung hubungan sebab akibat
antara penanda dan petandanya, diistilahkan dengan indeks. Misalnya
kata diagnosa (sic) yang merupakan penanda dunia kesehatan dan kata kuliah yang berhubungan dengan perguruan tinggi (Pradopo, 1995: 118-120).
Sebagai contoh adalah kata ka’bah dalam judul roman Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka. Kata ka’bah
dalam roman tersebut tidak semata-semata menunjuk pada Ka’bah yang ada
di kota Mekkah, tetapi juga Ka’bah imajiner yang ada dalam roman
tersebut. Pembaca bisa memahami ka’bah dalam roman ini dengan
melihat hubungan antara Ka’bah dan seorang muslim. Mengunjungi Ka’bah
adalah keinginan hampir setiap orang muslim karena di sanalah dia merasa
dapat bertemu Tuhan dan menemukan ketenangan. Kata ka’bah
bagaimanapun tetap dikatakan bersumber dari sebuah agama, yaitu Islam,
tetapi maknanya sudah dipindahkan oleh Hamka ke dalam romannya.
Akan tetapi, tidak semua orang suka bertemu dengan Tuhan. Berikut ini
adalah cuplilkan puisi Subagio Sastrowardoyo berjudul “Motif IV”:
…………
Aku takut pada sunyi
Aku takut pada suara hati
Tuhan, kapan engkau bakal mati?
……………
Aku takut pada sunyi
Aku takut pada suara hati
Tuhan, kapan engkau bakal mati?
……………
“Aku” dalam cuplikan puisi di atas, tidak suka kesunyian karena dia
merasa saat itu Tuhan datang. Ketika Tuhan datang, “Aku” seakan-akan
berhadapan dengan realita manusia, seperti dosa, kematian, dan refleksi
kelam kehidupan lainnya yang tidak dia suka (Kurniawan, 2001: 144). Kata
“Tuhan” dalam cuplikan puisi di atas juga merupakan tanda sebuah
kekuasaan kudus yang sangat umum dikenal di kalangan umat beragama.
Makna Tuhan ini telah dipindahkan oleh Subagio Sastrowardoyo dalam ke
dalam puisi “Motif IV”.
Dari paparan di atas, ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil, yaitu:
- Hubungan pertama yang paling jelas antara sastra dan agama adalah kenyataan bahwa banyak karya sastra yang merupakan ungkapan penghayatan seseorang terhadap Tuhan.
- ubungan yang kedua adalah penggunaan simbol-simbol berupa kosakata yang sudah umum dipakai dalam kehidupan beragama sebagai tanda-tanda dalam karya sastra.
- Dalam menciptakan karya sastra, banyak pengarang yang tetap menjadikan agama sebagai patokan, sedangkan pengarang yang lain menganggap karya sastra bebas dari pengaruh agama. Perbedaan pendapat ini mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan para sastrawan dan ahli sastra.
- Pembaca karya sastra menggunakan cakrawala harapannya dalam memahami karya sastra. Pembaca yang berorientasi pada agama, tentunya mengharapkan karya sastra itu tidak menentang agama (dalam arti agama formal) sehingga penentangan agama lewat karya sastra akan mereka tanggapi secara negatif.
- Bagaimanapun, bisa dikatakan bahwa pengarang itu taat beragama atau tidak, karyanya tetap harus mengandung nilai-nilai estetika dan sesuai dengan konvensi sastra. Masyarakat sastralah yang akan memberikan penilaian karena kebesaran karya sastra ditentukan dengan kriteria di luar estetika, misalnya agama.
- Ilmu sastra, sebagai sebuah pengetahuan ilmiah, memiliki peran memberikan penjelasan ilmiah mengenai kaitan sastra dengan bidang-bidang lain di luar sastra, misalnya agama. Dengan demikian, siapa saja yang akan memberikan keterangan secara ilmiah mengenai keterkaitan sastra dengan bidang lain, harus pula memahami ilmu sastra.
Daftar Pustaka
Anshari, Endang Saifuddin. 1987. Ilmu, Filsafat, dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu
Badudu dan Zain, J.S. dan Muhammad. 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Bagyo. S. (ed). 1986. Sari Pelajaran Kesusatraan Indonesia. Djagalabilawa: Surakarta
Braden. Charles Samuel. 1954. The Worlds of Religions: A Short History. New York: Abingdon Press
Faruk, 1999. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Huijbers, Th. 1991. Manusia Merenungkan Dirinya. Kanisius: Yogyakarta
Kurniawan, Paulus Heru Wibowo. 2001. “Bahasa Puisi Subagyo Sastrowardoyo dalam “Dan Kematian Makin Akrab”: Analisis Formalisme dan Semiotika Riffaterr”. Skripsi S1 Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta: tidak diterbitkan
Mangunwijaya, Y.B. 1994. Sastra dan Religiositas. Yogyakarta: Kanisius.
________________ 1995. Mendidik Manusia Merdeka. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Pradopo, Rachmat Joko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
_____________________ 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
_____________________ 1997. Prinsip-prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Suseno, Frans Magnis. 1992. Filsafat-Kebudayaan-Politik: Butir-butir Pemikiran Kritis. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Teeuw. A. 1955. Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia. Jilid I. Pembangunan: Jakarta
__________ 1980. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya
__________ 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Pustaka Jaya: Jakarta.
__________1991. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Veeger, V. J. 2001. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Prenhallindo
Badudu dan Zain, J.S. dan Muhammad. 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Bagyo. S. (ed). 1986. Sari Pelajaran Kesusatraan Indonesia. Djagalabilawa: Surakarta
Braden. Charles Samuel. 1954. The Worlds of Religions: A Short History. New York: Abingdon Press
Faruk, 1999. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Huijbers, Th. 1991. Manusia Merenungkan Dirinya. Kanisius: Yogyakarta
Kurniawan, Paulus Heru Wibowo. 2001. “Bahasa Puisi Subagyo Sastrowardoyo dalam “Dan Kematian Makin Akrab”: Analisis Formalisme dan Semiotika Riffaterr”. Skripsi S1 Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta: tidak diterbitkan
Mangunwijaya, Y.B. 1994. Sastra dan Religiositas. Yogyakarta: Kanisius.
________________ 1995. Mendidik Manusia Merdeka. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Pradopo, Rachmat Joko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
_____________________ 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
_____________________ 1997. Prinsip-prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Suseno, Frans Magnis. 1992. Filsafat-Kebudayaan-Politik: Butir-butir Pemikiran Kritis. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Teeuw. A. 1955. Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia. Jilid I. Pembangunan: Jakarta
__________ 1980. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya
__________ 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Pustaka Jaya: Jakarta.
__________1991. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Veeger, V. J. 2001. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Prenhallindo
Sumber : https://hanzkylakesmas.wordpress.com/2011/12/06/sastra-dan-agama/#more-90
Tidak ada komentar:
Posting Komentar