Senin, 02 November 2015

Surat Cinta #1

Ibu,

Entah kenapa tiba-tiba saja hari ini aku ingin menuliskan surat ini untukmu.

Oh iya, bagaimana kabarmu disana ibu? Aku anakmu disini masih dengan keadaan seperti kemarin. Masih baik-baik saja, Alhamdulillah. Aku berharap keadaanmu disana juga baik atau bahkan lebih baik dari keadaanku karena memang itu yang aku harapkan setiap saat sesuai doaku yang selalu kupanjatkan pada Yang Maha Kuasa agar Dia senantiasa memberimu kesehatan dan kebahagiaan. Sampai aku bisa membahagiakanmu suatu saat nanti.

Ah, sebenarnya aku tahu, doa yang aku panjatkan untukmu masih terlalu pendek dibandingkan dengan doa-doamu yang engkau panjatkan pada Yang Maha Kuasa untukku. Aku tahu, didalam doa panjangmu hanya namaku--anakmu-- yang selalu engkau sebut. Namaku selalu mengalir dalam setiap tetes air matamu yang jatuh dihadapan Yang Maha Kuasa. Aku tahu itu bu. Meski aku baru mengetahuinya beberapa hari yang lalu sebelum aku memutuskan menulis surat ini.

Aku tahu bu, saat aku menyebut namamu satu kali dalam setiap doaku engkau telah menyebut namaku 10 kali dalam doa panjangmu. Dan saat aku menyebut namamu 10 kali dalam doaku, engkau telah menyebut namaku 100 kali dalam doa-doamu. Begitulah seterusnya. Seberapa banyakpun aku mendoakanmu tapi selalu kalah oleh banyaknya doa yang engkau panjatkan untukku. Engkau menyebut namaku dalam kerendahan hati dan lirih kekhusyuan. Sementara aku, aku masih dengan kesombongan dan keangkuhan. Suatu saat nanti aku ingin lebih banyak belajar kepadamu tentang kerendahhatian dan ketulusan.

Entah kenapa, tiba-tiba saja aku ingin menuliskan surat ini untukmu. Mungkin jawabanku hanya satu. Kerinduan.

Ya, setelah kini aku jauh darimu. Setelah lama aku berpisah darimu. Rasanya, aku baru tahu arti kerinduan yang sesungguhnya.

Meski aku tahu, rasa rinduku masih terlalu kecil jika dibandingkan dengan rindumu padaku--darah dagingmu. Seperti doa, saat aku rindu satu kali engkau telah memendam rindu ribuan kali padaku. Hanya aku saja yang terlalu bodoh untuk tidak merasakan kerinduan yang engkau rasakan. Aku terlalu asyik dengan dunia dan lingkunganku hingga aku lupa bahwa di belahan dunia sana ada yang sedang menanti kabar dariku, ada yang sedang khawatir menantikan kabar dari seorang anak yang sudah beberapa hari tak kunjung memberi kabar. Maafkan aku ibu, yang membiarkanmu larut dalam kekhawatiran.

Sebenarnya, engkau bisa saja menanyakan kabarku terlebih dahulu memalui pesan singkat atau melalui telpon. Tapi, aku tahu engkau pasti tidak ingin mengganggu anakmu. Engkau pasti takut mengganggu anakmu. Dan setelah itu anakmu yang durhaka ini marah padamu karena engkau menggangguku. Aku tahu itu bu. Engkau pasti takut aku marah dan membiarkanmu beberapa hari tanpa memberi kabar seperti yang aku lakukan beberapa bulan yang lalu. Aku tahu bu, tapi aku baru menyadarinya hari ini saat aku memutuskan untuk menuliskan surat ini.

Hari ini, rasanya aku rindu padamu. Sekali lagi aku tahu pasti rindumu telah tumbuh dari kemarin-kemarin saat telepon terkahir kita. Engkau pasti sudah merindukan kehadiranku. Seperti aku juga merindukan hadirmu.

Maafkan aku bu yang sedikit terlambat menyadari bahwa di belahan bumi yang lain ada seseorang yang istimewa yang sedang mondar-mandir sesekali melihat handphone hanya untuk melihat adakah kabar dariku--anakmu.

Sementara disini aku sedang tertawa dengan teman-teman baruku. Menikmati suasana baru yang jauh dari rumah. Menikmati lingkungan baruku. Tapi disana engkau sedang khawatir karena sudah beberapa hari tidak menerima kabar dariku. Hingga tidurmu tidak nyenyak. Makanmu tidak enak. Hanya karena belum mendapatkan kabar dari anakmu yang durhaka ini.

Maafkan aku bu yang telah membuatmu khawatir disana...