Puisi Jalaludin Rumi

NYANYIAN SERULING BAMBU

Dengarkan nyanyi sangsai Seruling Bambu
Mendesah selalu, sejak direnggut
Dari rumpun rimbunnya dulu, alunan
Lagu pedih dan cinta membara.

“Rahasia nyanyianku, meski dekat,
Tak seorang pun bisa mendengar dan melihat
Oh, andai ada teman tahu isyarat
Mendekap segenap jiwanya dengan jiwaku!

Ini nyala Cinta yang membakarku,
Ini anggur Cinta mengilhamiku.
Sudilah pahami betapa para pencinta terluka,
Dengar, dengarkanlah rintihan Seruling!”

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I

http://syairsyiar.blogspot.com 


CINTA DALAM KETIADAAN

Betapa tak ’kan sedih aku, bagai malam, tanpa hari-Nya serta keindahan wajah hari terang-Nya?
Rasa pahit-Nya terasa manis bagi jiwaku: semoga hatiku menjadi korban bagi Kekasih yang membuat pilu hatiku!
Aku sedih dan tersiksa karena Cinta demi kebahagiaan Rajaku yang tiada bandingnya.
Titk air mata demi Dia adalah mutiara, meski orang menyangka sekedar air mata.
Kukeluhkan jiwa dari jiwaku, namun sebenarnya aku tidak mengeluh: aku cuma berkisah.
Hatiku bilang teriksa oleh-Nya, dan kutertawakan seluruh dalihnya.
Perlakukanlah aku dengan benar, O Yang Maha Benar, O Engkaulah Mimbar Agung, dan akulah ambang pintu-Mu!
Di manakah sebenarnya ambang pintu dan mimbar itu? Di manakah sang Kekasih, di manakah “kita” dan “aku”?
O Engkau, Jiwa yang bebas dari “kita” dan “aku”, O Engkaulah hakekat ruh lelaki dan wanita.
Ketika lelaki dan wanita menjadi satu, Engkau-lah Yang Satu itu; ketika bagian-bagian musnah, Engkau-lah Kesatuan itu.
Engkau ciptakan ”aku” dan ”kita” supaya memainkan puji-pujian bersama diri-Mu,
Hingga seluruh ”aku” dan ”engkau” dapat menjadi satu jiwa serta akhirnya lebur dalam sang Kekasih.


Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas I. 1776

http://syairsyiar.blogspot.com


DUKACITA KEMATIAN

Pangeran umat manusia (Muhammad) sungguh mengatakan bahwa tak seorang pun yang meninggalkan dunia ini
Merasa sedih dan menyesal karena telah mati; sebaliknya, dia bahkan sangat menyesal karena telah kehilangan kesempatan,
Seraya berkata pada dirinya, ”Mengapa tak kujadikan kematian sebagai tujuanku – kematian sebagai gudang menyimpan segala keberuntungan dan kekayaan,
Dan mengapa, karena tampak ganda, aku tambatkan hidupku pada bayang-bayang yang mudah lenyap dalam sekejap?”
Dukacita kematian tiada hubungannya dengan ajal, karena mereka asyik dengan wujud keberadaan yang menggejala
Dan tak pernah memandang seluruh buih ini bergerak dan hidup karena Sang Lautan.
Bila Sang Lautan telah menepiskan buih ke pantai, pergilah ke kuburan dan lihatlah mereka!
Tanyakan kepada mereka, ”Di manakah arus gelombangmu kini?” dan dengarlah jawaban bisu mereka, ”Tanyakan kepada Sang Lautan, bukan kepada kami”.
Bagaimana buih dapat melayang tanpa ombak? Bagaimana debu terbang ke puncak tanpa angin?
Bila kaulihat debu, lihatlah pula Sang Angin; bila kau lihat buih, lihat pula Sang Samudra Tenaga Penciptan.
Mari, perhatikanlah, karena pernglihatan batinlah satu-satunya yang paling berguna dalam dirimu: selebihnya adalah keping-keping lemak dan daging, pakaian dan pembungkus (tulang dan nadi).
Leburkanlah seluruh tubuhmu ke dalam Penglihatan Batin: lihat, lihat, lihatlah!
Sekilas hanya sampai pada satu dua depa jalan; pandangan cermat akan alam duniawi dan spiritual menyampaikan kita pada Wajah Sang Raja.


Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. VI, 1450

http://syairsyiar.blogspot.com



SUFI SEJATI

Apa yang membuat orang jadi Sufi? Kesucian hati;
Bukan gamis kumal dan berahi liar
Mereka yang terikat dunia yang jahat mencuri namanya.
Di tengah tumpukan sampah dia (Sufi sejati) dapat melihat intisarinya:
Tentram dalam derita, girang dalam sengsara.
Hantu-hantu pengawal, yang menjaga dengan pentungan
Dan tirai perlindungan pintu gerbang isatan Keindahan,
Akan memberinya jalan, dan tanpa takut ia melangkah,
Sambil memperlihatkan panah San Raja, ia pun masuk ke dalam.


Puisi Oleh: Jalaludiin Rumi, Mas. V, 358
http://syairsyiar.blogspot.com 




PANDANGAN WALI TENTANG KEABADIAN

Apa yang kaulihat di dalam cermin yang cemerlang – Pir melihatnya lebih jelas dibandingkan yang tampak pada batu besi yang kasar.
Para Pir adalah mereka yang ruhnya berada dalam Lautan Kasih Ilahi sebelum dunia ini ada.
Mereka hidup bertahun-tahun sebelum tubuh tercipta; mereka telah mengetam gandum sebelum ditabur.
Sebelum bentuk dicetak, mereka telah mendapat ruh; sebelum lautan dibuat, mereka telah menguntai mutiara.
Ruh telah melihat anggur di dalam buah anggur, ruh telah melihat sesuatu yang ada dalam yang tak ada –
Keterbatasan sebagai ketakterbatasan, emas cetakan sebelum adanya tambang.


Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. II, 167

http://syairsyiar.blogspot.com 




 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar